Minggu, 15 Desember 2013

Adab tilawah dan adab pembacanya[1]



Ada beberapa ulama yang secara khusus mengarang tentang masalah ini, seperti An Nawawi dalam At Tibyan[3]. Di dalamnya, di dalam Syarah Al Muhadzab, Al Adzkar dia telah menyebutkan beberapa hal tentang adab. Aku meringkasnya di sini dan menambahkan banyak hal. Aku uraikan dalam satu permasalahan agar mudah untuk dipelajari.

1.    MASALAH 
Disunnatkan untuk memperbanyak membaca Al Qur'an. Allah Ta’ala berfirman guna memuji orang-orang yang kebiasaannya membaca AI Qur'an.    قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ  "Mereka selalu membaca Al Qur'an pada pertengahan malam".[4]
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasululah SAW bersabda : "tidak ada hasad kecuali pada dua hal, yaitu seorang laki-laki yang diberikan karunia Al Qur'an oleh Allah dan dia membacanya di malam dan siang hari". Al hadits.[5]
Turmudzi meriwayatkan dari hadits Ibnu Mas'ud : "Barangsiapa yang membaca satu huruf dalam Al Qur'an, maka dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan".
Dan dia meriwayatkan dari hadits Abu Sa'id dari Rasululah SAW : "Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berkata : "Barangsiapa yang disibukkan dengan Al Qur'an dan berdzikir kepada-Ku, hingga tidak sempat meminta kepada-Ku, maka aku akan memberikan apa yang terbaik yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta. Dan keutamaan firman Allah atas perkataan makhluk-Nya adalah seperti keutamaan Allah atas semua makhluk-Nya".
Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Umamah : "Bacalah Al Qur'an. Sesunggguhnya Al Qur'an itu akan datang memberikan syafa'at kepada pembacanya pada hari Kiamat".
Baihaqi meriwayatkan dari hadits Aisyah : "Rumah yang di dalamnya di baca Al Qur'an akan terlihat oleh penduduk langit seperti terlihatnya bintang-bintang oleh penduduk bumi".
Dia meriwayatkan hadits dari Anas : "Terangilah rumah-rumah kalian dengan shalat dan membaca Al Qur'an".
Dia meriwayatkan hadits dari Nu'man bin Basyir : "Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca Al Qur'an".
Dia meriwayatkan hadits dari Samurah bin Jundub : "Setiap pengajar senang jika ajarannya diamalkan. Dan ajaran Allah adalah Al Qur'an. Maka janganlah kalian berseteru dengannya".
Dia meriwayatkan hadits dari Ubaidah Al Makki secara marfu' dan mauquf: "Wahai para pengemban Al Qur'an. Janganlah kalian menjadikan Al Qur'an sebagai bantal. Bacalah Al Qur'an itu dengan sebenarnya siang dan malam hari dan sebarkanlah serta renungilah apa yang ada di dalamnya. Semoga kalian bahagia".
Tentang kadar bacaan, para ulama salaf mempunyai beberapa macam kebiasaan. Riwayat yang menjelaskan tentang paling banyaknya bacaan Al Qur'an adalah riwayat : "orang-orang yang menghatamkan Al Qur'an delapan kali semalam, empat kali pada waktu siang hari dan empat hari pada waktu malam hari". Dan berikutnya adalah "orang-orang yang menghatamkan Al Qur'an empat kali sehari semalam". Dan berikutnya tiga kali, kemudian dua kali, kemudian sekali.
Aisyah mencela hal itu. Abu Dawud meriwayatkan dari Muslim bin Mikhraq bahwa dia berkata : "Aku berkata kepada Aisyah : "Sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki yang menghatamkan Al Qur'an dua atau tiga kali semalam". Maka dia berkata : "Mereka itu membaca padahal mereka tidak membaca. Aku shalat malam bersama dengan Rasulullah SAW. Dia membaca Surat Al Baqoroh, Ali Imran dan An Nisa'. Dia tidak melewati ayat tentang berita gembira, kecuali berdo'a dan mengharap dan tidak melewati ayat-ayat tentang siksa, kecuali berdo'a dan meminta perlindungan".
Dan berikutnya adalah orang-orang yang menghatamkan dalam dua hari dan berikutnya adalah orang-orang yang menghatamkan dalam tiga hari. Itu adalah baik.
Ada beberapa orang yang memakruhkan khatam dalam waktu yang lebih pendek dari tiga hari itu, karena sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan dia menyatakannya shahih dari hadits bin Umar secara marfu "Orang yang membaca Al Qur'an dalam waktu kurang dari tiga hari tidak akan memahaminya".
Ibnu Abi Dawud dan Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud secara mauquf bahwa dia berkata : "Janganlah kalian membaca Al Qur'an (menghatamkanya) dalam waktu kurang dari tiga hari".
Abu Ubaid meriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal bahwa dia memakruhkan membaca Al Qur'an dalam waktu kurang dari tiga hari.
Ahmad dan Abu Ubaid meriwayatkan dari Sa'id bin Mundzir -dia tidak memiliki riwayat lain selain ini, bahwa dia berkata : "Aku berkata : "Wahai Rasulullah, bolehkah aku membaca Al Qur'an dalam tiga hari ?" Dia berkata : "Ya, jika kamu bisa".
Dan berikutnya adalah orang-orang yang menghatamkan Al Qur'an dalam empat hari, kemudian lima hari, kemudian enam hari, kemudian tujuh hari. Inilah yang pertengahan dan yang terbaik. Dan inilah yang dilakukan oleh kebanyakan sahabat dan yang lainnya.
Asy Syaikhoni meriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa dia berkata : "Rasulullah SAW berkata kepadaku : "Bacalah Al Qur'an dalam satu bulan". Aku berkata : "Aku masih kuat". Dia berkata : "Bacalah dalam sepuluh hari". Aku berkata : "Aku masih kuat". Dia berkata : "Bacalah dalam tujuh hari. Dan janganlah kamu menambah darinya".
Abu Ubaid dan yang lainnya meriwayatkan dari jalur Wasi bin Hiban dari Qais bin Abi Sha'sha'ah - dan dia tidak memiliki riwayat lain selain ini, bahwa dia berkata : "Wahai Rasulullah, dalam berapa hari aku membaca Al Qur'an?" Dia berkata: "Dalam lima belas hari". Aku berkata : "Aku mampu lebih dari itu". Dia berkata : "Bacalah dalam satu Jum'ah".
Dan berikutnya adalah orang-orang yang mengkhatamkan al-Qur'an dalam delapan hari, kemudian dalam sepuluh hari, kemudian dalam sebulan dan kemudian dalam dua bulan. Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari Makhul bahwa dia berkata : " Sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang paling kuat membaca Al Qur'an dalam tujuh hari. Beberapa diantara mereka membaca dalam satu bulan dan beberapa yang lain dalam dua bulan dan sebagian yang lain lebih lama dari itu".

Abu Laits berkata dalam Al Bustan : "Seyogyanya seorang pembaca itu menghatamkan Al Qur'an dua kali dalam satu tahun, jika dia tidak mampu lebih dari itu".
Hasan bin Ziyad telah meriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa dia berkata : " Barangsiapa yang membaca Al Qur'an dua kali dalam satu tahun, maka dia telah memberikan hak Al Qur'an itu. Karena Rasulullah SAW membaca Al Qur'an di hadapan Jibril pada tahun meninggalnya sebanyak dua kali".
Yang lainnya berkata : "Dimakruhkan mengakhirkan (menunda) khatam Qur'an satu kali lebih dari empat puluh hari tanpa adanya halangan. Inilah yang ditegaskan oleh Ahmad. Karena Abdullah bin Umar bertanya kepada Rasulullah SAW: "Dalam berapa hari kita menghatamkan Al Qur'an?" Dia berkata: "Dalam empat puluh hari". Diriwayatkan oleh Abu Dawud.
An Nawawi berkata dalam Al Adzkar. "Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu berbeda dari orang ke orang lain. Barangsiapa yang mempunyai pemikiran yang jernih, maka hendaklah dia membatasi pada kadar dimana dia dapat memahami apa yang dia baca. Begitu juga bagi orang yang sibuk untuk menyebarkan ilmu, menjadi hakim atau urusan-urusan keagamaan yang lainnya, maka hendaklah dia membatasi pada kadar dimana dia tidak menyia-nyiakan tugas yang dibebankannya. Dan jika bukan termasuk kelompok ini, maka hendaklah dia memperbanyak sebanyak mungkin sekira dia tidak bosan atau menjadikannya membaca dengan cepat sekali".

2.    MASALAH
Melupakannya adalah termasuk dosa besar. Ini ditegaskan oleh An Nawawi di dalam Ar Raudfah dan yang lainnya karena sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya : "Diperlihatkan kepadaku dosa-dosa umatku. Aku tidak melihat satu dosa yang lebih besar daripada satu surat atau satu ayat yang diberikan oleh Allah kepada seorang laki-laki kemudian dilupakannya".
Dan dia juga meriwayatkan sebuah hadits : "Barangsiapa yang membaca Al Qur'an, kemudian dia melupakannya, maka dia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan berpenyakit kusta".
Di dalam Shahih Bukhari dan Muslim : "Peliharalah Al Qur'an. Demi Dzatdi mana Muhammad berada dalam tangan-Nya, Al Qur'an itu lebih cepat melesat daripada seekor onta di tempat ikatannya".[6]

3.    MASALAH
Disunatkan untuk berwudlu dalam membaca Al Qur'an, karena itu adalah dzikir yang paling baik. Rasulullah SAW membenci jika berdzikir kepada Allah, kecuali dalam keadaan suci seperti yang telah ditegaskan dalam hadits.
Imamul Haramain berkata : "Dan tidak dimakruhkan membaca Al Qur'an bagi seseorang yang berhadas. Karena telah shahih dari Rasulullah SAW bahwa dia membaca Al Qur'an dalam keadaan berhadas".
Di dalam Syarah Al muhadzab disebutkan : "Jika sedang membaca, kemudian dia merasa akan keluar angin (kentut), maka dia menahan bacaannya sehingga keluar anginnya dengan sempurna. Adapun orang yang junub dan haid, maka keduanya diharamkan untuk membaca. Ya, boleh bagi keduanya untuk melihat mushhaf dan membacanya dalam hati. Adapun orang yang mulutnya terkena najis, maka dimakruhkan baginya untuk membaca".
Dan dikatakan : "Diharamkan, seperti haramnya menyentuh mushhaf bagi tangan yang najis".

4.    MASALAH
Disunnahkan membaca Al Qur'an di tempat yang suci. Dan yang paling utama adalah di masjid. Ada sekelompok ulama yang memakruhkan membaca Al Qur'an di kamar mandi dan di jalanan. An Nawawi berkata : "Madzhab kami menyatakan tidak makruh dalam keduanya. Sya'bi memakruhkan membacanya ditempat yang jauh dari kebersihan dan di tempat penggilingan pada saat gilingan itu berputar". Dia berkata : "Inilah yang seharusnya dianut oleh madzhab kami".

5.    MASALAH
Disunnahkan untuk duduk sambil menghadap qiblat dengan khusyu' dan tenang dan menundukkan kepala.
6.    MASALAH
Disunnahkan untuk bersiwak sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan. Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ali secara mauquf dan Al Bazar dengan sanad yang baik secara marfu, "Sesungguhnya mulut-mulut kalian itu adalah jalan bagi Al Qur'an. Maka bersihkanlah dengan siwak'.
Aku berkata : "jika dia memotong bacaan dan kembali lagi membaca dalam waktu dekat, jika dia dianjurkan untuk mengulangi membaca ta'awudz, maka seharusnya dia juga disunahkan untuk mengulagi bersiwak juga".

7.    MASALAH
Disunahkan untuk membaca taawudz sebelum membaca al-Qur'an. Allah berfirman : فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ (98) "Jika kamu membaca Al Quran, maka memintalah perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk".[7]
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa ta'awudz itu setelah membaca Al Qur'an karena ayat itu menggunakan fi'il madli. Dan ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa membacanya adalah wajib karena  dhahir perintah pada ayat itu.
An Nawawi berkata ; "jika dia melewati suatu kaum dan mengucapkan salam kepada mereka, kemudian kembali membaca, jika dia mengulangi bacaan ta'awudznya, maka itu adalah baik". Dia berkata : "Bacaannya yang terpilih adalah أَعُـوْذُ بِاللهِ مِـنَ الشَّــيْـطَانِ الرَّجِـيْم  {Aku beriindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk). Ada beberapa ulama salaf yang menambah dengan السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ (Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengeta-hui).
Diriwayatkan dari Hamzah bahwa menggunakan aku meminta perlindungan), kami meminta perlindungan. Aku telah meminta perlindungan. Yang terakhir inilah yang dipilih oleh penulis Al hidayah dari  Madzhab Hanafi karena sesuai dengan lafadz dalam Al Qur'an.
Dari Humaid bin Qais:  أَعُـوْذُ بِاللهِ مِـنَ الشَّــيْـطَانِ الغَدِرِ   {Aku berlindung kepada dari Allah Yang Maha Kuasa dari setan yang pendusta). Dari Abus Samal: أَعُـوْذُ بِاللهِ  القَوِيِ مِـنَ الشَّــيْـطَانِ الغَوِي  (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Kuat dari setan yang sesat). Dari beberapa ulama: أَعُـوْذُ بِاللهِ مِـنَ الشَّــيْـطَانِ الرَّجِـيْم  (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mulia dari godaan setan yang terkutuk). Dari yang lainnya: أَعُـوْذُ بِاللهِ مِـنَ الشَّــيْـطَانِ الرَّجِـيْم اِنَّ االله هُوَالسَّمٍعُالعَلِيْمُ  {Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengeta hui). Dan masih ada lafadz-lafadz yang lain.
Al Hulwani berkata dalam Kitab Jami'nya: "Ta'awudz ini tidak memiliki batas akhirnya. Barangsiapa yang menginginkan, maka dia boleh menambah sesukanya dan barangsiapa yang ingin mengurangi, maka juga diperboleh kan".
Di dalam An Nasyr disebutkan: "Yang dipilih oleh para imam qiro'ah adalah membacanya dengan keras. Ada yang mengatakan ta'awudz itu dibaca dengan lirih secara mutlak. Ada yang mengatakan dalam selain Surat Al Fatihah. Dia berkata: "Mereka telah memutlakkan membacanya dengan keras. Abu Syamah memberikan batasan yang harus ada, yaitu jika ada seseorang yang mendengarkan bacaannya. Dia berkata: "karena membaca ta'awudz dengan keras dapat menampakkan syi'ar bacaan seperti membaca talbiyah dan takbir pada hari raya dengan keras. Di antara faedahnya adalah agar pendengar mendengarkan dari awal bacaan, tidak ada satupun yang terlewatkan. Jika dia membacanya dengan lirih, maka pendengar itu tidak mengetahui bacaannya kecuali setelah ada beberapa huruf yang terlewatkan. Inilah makna pembeda atau kalimat antara bacaan pada waktu shalat dan selain shalat".
Dia berkata : "Para ulama mutaakhirin berbeda pendapat tentang makna menyamarkannya. Jumhur berpendapat bahwa maksudnya adalah membacanya dengan lirih. Jadi harus dibaca dan dapat didengar oleh dirinya sendiri. Ada yang mengatakan maksudnya adalah menyembunyikannya dengan menyebutkan dalam hati tanpa mengucapkannya".
Dia berkata: "Jika dia memotong bacaan atau menyelanya dengan perkataan yang lain walupun karena menjawab salam, maka dia mengulanginya. Dan jika pemotongan itu berhubungan dengan kemashlahatan bacaan, maka tidak mengulanginya".
Dia berkata: "Apakah ta'awudz itu sunnah kifayah atau sunnah 'ainiyah, dimana jika ada jama'ah yang berkumpul kemudian salah seorang dari mereka membaca ta'awudz, maka apakah itu mencukupi bagi mereka semua ataukah tidak mencukupi, seperti membaca basmalah pada waktu makan?" Aku tidak menemukan adanya nash di sini. Tetapi yang dzahir adalah yang kedua. Karena maksud dari ta'awudz itu adalah permintaan perlindungan dari seorang pembaca kepada Allah dari godaan setan. Maka bacaan ta'awudz dari salah seorang mereka tidaklah mencukupi bagi yang lainnya". Selesai perkataan Ibnul Jazari.[8]

8.    MASALAH
Hendaklah dijaga bacaan basmalah di awal setiap surat, selain Surat Bara'ah. Karena menurut kebanyakan ulama basmalah adalah satu ayat. Jika basmalah itu termasuk salah satu darinya, maka dia tidak menghatamkannya menurut pendapat kebanyakan ulama. Jika mulai membaca di awal surat, maka disunnahkan untuk membacanya juga. Ini ditegaskan oleh Imam Syafi'i yang diriwayatkan oleh Al Ibadi.
Sebagian besar ulama berpendapat membaca basmalah paada setiap awal surah hukumnya sunnah Muakkadah, kecuali pada awal surah At Taubah. إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (30) [9]  Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.  Jika membaca pada pertengahan surat, maka boleh membaca basmalah dan boleh tidak membacanya, tapi baca basmalah lebih utama.
Para ahli qiro'ah berkata : "Dan lebih dianjurkan lagi ketika membaca firman Allah : إِلَيْهِ يُرَدُّ عِلْمُ السَّاعَةِ [10] " kepadanya dikembalikan ilmu tentang hari kiamat ". dan firman Allah وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ[11] Dia lah  yang menumbuhkan kebun-kebun ". Karena penyebutan ayat-ayat ini setelah bacaan ta'awudz adalah sangat jelek. Karena dikhawatirkan adanya kesalahpahaman kembalinya dhamir (dia) kepada setan.
Ibnul Jazari berkata : "Memulai dari ayat-ayat di tengah-tengah Surat Bara'ah sedikit sekali yang melakukannya. Abul Hasan As Sakhawi telah menegaskan adanya bacaan basmalah padanya. Dan ini dibantah oleh Al Ja'bari.[12]

9.    MASALAH
Membaca Al Qur'an tidak membutuhkan niat seperti dzikir-dzikir yang lain. Kecuali jika dinadzarkan diluar shalat. Maka harus diiringi dengan niat nadzar atau melakukan kewajiban. Jika dia menegaskan nadzar pada suatu masa dan dia meninggalkan niat untuk masa itu, maka tidak boleh. Ini diriwayatkan oleh Al Qomuli dalam Al Jawahir.

10. MASALAH
Disunatkan untuk membaca Al Qur'an dengan tartil. Allah berfirman :     أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا [13]Dan bacalah Al Quran dengan benar-benar tartil'.
Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa dia menerangkan cara Rasulullah SAW membaca Al Qur'an : "Bacaan yang dapat ditafsirkan, satu huruf satu huruf".
Di dalam Shahih Bukhari dari Anas bahwa dia ditanya tentang
bacaan Rasulullah SAW, maka dia berkata : "Bacaannya adalah
panjang. Dia membaca
بسم الله الرحمن الرحيم Dia membaca panjang
pada 
الله   , panjang pada الرحمن  dan panjang pada الرحيم
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepadanya : "Aku membaca surat-surat mufashol pada satu raka'at". Maka dia berkata : "Dia menggigau seperti gigauan syair-syair. Sesungguhnya ada beberapa kaum yang membaca Al Qur'an yang tidak melebihi kerongkongan mereka. Tetapi jika masuk ke dalam hati dan tertanam kuat, maka akan ada manfaat baginya".[14]
Ajuri meriwayatkan dalam Kitab Hamalatul Qur'an dari Ibnu Mas'ud bahwa dia berkata : "Berhentilah ketika ada hal-hal yang menakjubkan padanya. Dan gerakkanlah hati dengannya. Dan janganlah perhatian salah seorang diantara kalian itu akhir setiap surat".
Dan dia meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar secara marfu': "Dikatakan kepada pembaca Al Qur'an : "bacalah, maka derajat kalian akan naik. Dan membacalah dengan tartil seperti bacaan tartilmu di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu sesuai dengan akhir ayat yang kamu baca".
Nawawi berkata dalam Syarah Al muhadzab : "Mereka sepakat tentang kemakruhan membaca Al qur'an dengan berlebih-lebihan cepatnya".
Mereka berkata : "Membaca satu juz Al Qur'an dengan tartil adalah lebih baik dari pada membaca dua juz dengan waktu yang sama tanpa tartil".
Mereka berkata : "Tujuan kesunnahan untuk membaca dengan tartil adalah untuk merenung. Dan karena itu lebih dekat kepada pengagungan dan penghormatan dan lebih meresap ke dalam hati. Karena itulah juga disunnahkan tartil bagi orang asing yang tidak memahami maknanya".
Di dalam An Nasyr disebutkan : "Diperselisihkan apakah yang lebih utama membaca sedikit dengan tartil ataukah membaca dengan cepat dan banyak. Telah berbuat baik beberapa imam-imam kami yang berpendapat bahwa sesungguhnya bacaan dengan tartil itu lebih banyak pahalanya dan bacaan yang banyak itu lebih banyak jumlahnya, karena dalam setiap huruf itu terkandung sepuluh kebaikan.
Di dalam Al Burhan karya Az Zarkasyi : Kesempurnaan tartil adalah dengan membaca dengan sempurna pada lafadz-lafadznya dan membaca secara jelas huruf-hurufnya dan agar setiap huruf itu tidak dimasukkan ke dalam huruf yang lain. Ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah tingkat terendahnya. Yang paling sempurna adalah dengan membacanya sebagaimana kedudukannya. Jika membaca ayat-ayat ancaman, maka dia membaca seperti itu. Dan jika dia membaca ayat-ayat tentang pengagungan, maka dia mengucapkannya sedemikian rupa.[15]




11.     MASALAH
Disunahkan untuk membaca dengan merenungi (tadabbur) dan memahami. Inilah tujuan utama dan perintah yang paling penting. Dengan demikian, hati akan menjadi lapang dan menjadi bersinar. Allah Ta’ala berfirman: كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ (29) [16]"Kitab yang Aku turunkan kepada mereka agar mereka merenungkan ayat-ayatnya dan firmannya: أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (24)   [17] "Apakah mereka itu tidak merenungkan Al Qur'an, ataukah hati mereka sudah terkunci"
Caranya adalah dengan membuat hati sibuk memikirkan makna dari apa yang diucapkan, sehingga dia mengetahui makna setiap ayat, memperhatikan perintah-perintah dan larangan-larangan dan meyakini akan menerima hal itu. Jika dia merasa telah berbuat kekurangan di masa lalu, maka dia meminta ampun dan beristighfar. Jika melewati ayat tentang rahmat, maka dia merasa gembira dan memohon,  atau melewati ayat tentang siksa, maka dia merasa sedih dan meminta perlindungan; atau melewati ayat tentang penyucian Allah, maka dia mensucikannya, سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ (Mahasuci Engkau Ya Tuhan Kami). atau ayat tentang do'a, maka dia merendahkan diri dan meminta.
Muslim meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa dia berkata : Aku shalat bersama dengan Rasulullah SAW pada suatu malam. Maka dia memulai dengan Surat Al Baqoroh, kemudian An Nisa'. Kemudian dengan Surat Ali Imran. Dia membacanya dengan lepas. Jika dia melewati ayat tentang tasbih, maka dia mengucapkan tasbih. Dan jika melewati ayat permohonan, maka dia memohon. Dan jika melewati ayat tentang perlindungan, maka dia meminta perlindungan.
Abu Dawud, Nasa'i dan yang lainnya meriwayatkan dari Auf bin Malik bahwa dia berkata: n Aku melakukan qiyamul lail bersama dengan Rasulullah SAW pada suatu malam. Maka dia berdiri membaca Surat Al Baqoroh. Dia tidak melewati ayat tentang rahmat, kecuali dia berhenti dan memohon dan tidak melewati ayat tentang adzab, kecuali berhenti dan meminta perlindungan".
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan hadits : "Barangsiapa yang membaca wattini wazzaitun sampai akhirnya, أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (8) [18] maka hendaklah berkata    بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّهِدِيْنَ" (Ya, dan aku adalah sebagian dari orang-orang yang bersaksi tentang hal itu). Dan barangsiapa yang membaca Surat Al Qiyamah sampai ke akhirnya : أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى (40)" }[19] "Bukankah yang itu benar-benar mampu untuk menghidupkan orang-orang yang mati"  hendaklah dia berkata:  بَلَى: Ya". Dan barangsiapa yang membaca Surat Al Mursalat dan sampai kepada:{فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ (50)}[20] "Dan dengan perkataan mana setelah itu mereka itu beriman", maka hendaklah dia berkata: { Amantu Bllah } Aku beriman kepada Allah".
Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW jika membaca Surat Al A'la  سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى (1) [21] maka dia berkata: Subhana Rabbiyal A’la  "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi".
 Tirmidzi dan Hakim meriwayatkan dari Jabir bahwa dia berkata : " Rasulullah SAW keluar menuju para sahabatnya. Dia membaca di hadapan mereka surat Ar Rahman dari awal sampai akhir. Mereka diam. Dia berkata : "Aku telah membacanya di hadapan para jin. Mereka itu lebih baik jawabannya daripada kalian. Setiap aku membaca firman Allah { فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ (13) }[22]: maka terhadap nikmat Tuhanmu yang manakah kamu berdua mendustakan" mereka berkata :لاَبِشَيْءٍمِنْ نِعَمِ رَبِّنَا نُكَذِّبُ, رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ     tidak satu pun nikmat-Mu, Wahai Tuhan kami yang kami dustakan. Segala puji adalah mulik-Mu".
Ibnu Mardawaih, Dailami, Ibnu Abid Dunya dalam Bab tentang do'a dan yang lainnya meriwayatkan dengan sanad yang sangat dla'if dari Jabir bahwa Rasulullah SAW membaca firman Allah :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ  إِذَا دَعَانِ  فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186)  }[23] "Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka katakanlah Aku dekat. Maka dia berkata :  
اَللَّهُمَّ أَمَرْتَ بِادُّعَاءِ وَتَوَكَلْتُ بِلْ أِجابَةِ, لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لآشَرِيْكَ لَبَّيْك, أِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكُ لاَ شَيْكَ لَكَ, أَشْهَدُ أَنَّكَ فَرْدٌ أَحَدٌصَمَدٌ, لَمْ يَلِدْ وَلَم يُلَدْ, وَلَم يَكُنْ لَّهُ كُفٌوً أَحَدٌ. وَأَشهَدُ أَنَّا وَعْدَكَ حَقٌ وَلِقَءَكَ حَقٌ, وَالجَنَّتَ حَقٌ, وَالنَّارَ حَقٌ, وَالسَّاعَةَ آتِيَةٌ لاَرَيْبَ فِيْهَا, وَآَنْتَ تَبْعَثُ مَنْ فِالْقُبُرِ[24]
"Ya Allah. Engkau memerintahkan untuk berdo'a dan engkau menjamin akan dikabulkan. Aku penuhi panggilan-Mu, Ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian dan nikmat itu adalah milik-Mu. Dan kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau adalah Satu sebagai tempat bergantung. Engkau tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang menandingi-Mu. Dan aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar. Surga itu benar. Neraka itu benar. Hari kiamat itu akan datang, tidak ada keraguan di dalamnya dan Engkau akan membangkitkan orang-orang dari kubur".
Abu Dawud dan yang lainnya meriwayatkan dari Wail bin Hajar bahwa dia berkata: " Aku mendengar Rasulullah SAW membaca: " وَلَا الضَّالِّينَ (7)  ” maka dia berkata: آمِيْن  .   Dia memanjangkan suaranya.
Thabrani meriwayatkan dengan lafadz: Dia berkata " " tiga kali. Dan Baihaqi meriwayatkannya dengan lafadz: Dia berkata: "   آمِيْنْ, رَبِّ اغْفِرْلِى (Ya Allah ampunilah aku. Aamiin).
Abut Ubaid meriwayatkan dari Abu Maisaroh bahwa Jibril mengajari Rasulullah SAW ketika membaca akhir Surat Al Baqoroh: " وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ (286) ". Dan dia meriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal bahwa Rasulullah SAW jika menghatamkan Surat Al Baqoroh, dia berkata: "  آمِيْن "-
An Nawawi berkata: "Termasuk diantara adab, ketika dia
membaca ayat seperti {
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ}[25]   "Dan orang-orang Yahudi berkata bahwa Uzair itu adalah anak Allah". Dan seperti firman Allah: Dan orang-orang Yahudi berkata : { وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ }[26]            {Tangan Allah itu terbelenggu) agar dia merendahkan suaranya. Demikianlah yang dilakukan oleh An Nakho'i.







12.     MASALAH
Tidak apa-apa untuk mengulang-ulang satu ayat. Nasa'i dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW berdiri membaca satu ayat mengulang-ulangnya sampai pagi, yaitu firman Allah: { إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (118)   } [27]   {Jika Engkau menyiksa mereka, maka mereka adalah hamba-hamba-Mu).

13.     MASALAH
Disunnahkan untuk menangis ketika membaca Al Qur'an dan berusaha untuk menangis bagi orang yang tidak mampu menangis, bersedih dan khusuk. Allah berfirman {   وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا (109)  }[28] Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim ada hadits tentang bacaan Ibnu Mas'ud dari Rasulullah SAW dan di dalamnya disebutkan: "Maka tiba-tiba dari kedua matanya mengalir air mata".
Di dalam Sya'b karya Baihaqi dari Sa'ad bin Malik secara marfu\ "Sesungguhnya Al Qur'an itu diturunkan dengan kesedihan. Maka jika kalian membacanya, maka menangislah dan jika tidak bisa, maka berpura-puralah menangis".
Dan di dalamnya dari hadits mursal Abdul Malik bin Umair bahwa Rasulullah SAW berkata: "Aku membaca satu surat di hadapan kalian. Maka barangsiapa yang menangis, maka dia akan mendapatkan surga. Dan jika tidak bisa, maka berpura-puralah menangis".
Di dalam musnad Abu Ya'la ada sebuah hadits: "Bacalah Al Qur'an dengan kesedihan. Sesungguhnya Al Qur'an itu turun dengan kesedihan".
Menurut riwayat Thabrani: "Manusia yang paling baik bacaannya adalah orang yang jika membaca Al Qur'an, maka dia akan berusaha untuk bersedih".
Dikatakan dalam Syarah Muhadzab: "Cara agar bisa menangis adalah dengan memperhatikan ancaman-ancaman yang dibacanya, perjanjian-perjanjian yang ada di dalamnya. Kemudian dia memikirkan kekurangannya pada hal-hal itu. Jika pada waktu memikirkan hal itu dia masih tidak dapat bersedih dan menangis, maka hendaklah dia menangis karena tidak dapat melakukan hal itu. Sesungguhnya hal itu termasuk musibah".

14.     MASALAH
Disunnahkan untuk menghiasi Al Qur'an dengan suara yang bagus, karena hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hiban dan yang lainnya: "Hiasilah Al Qur'an itu dengan suara kalian". Dan dalam lafadz Ad Darimi: "Perbaikilah Al Qur'an itu dengan suara kalian. Sesungguhnya suara yang baik itu akan menambah Al Qur'an itu menjadi baik".
Al Bazar dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadits: "bagusnya suara itu adalah hiasan Al Qur'an".
Tentang hal ini ada banyak hadits yang shahih. Jika suaranya tidak bagus, maka dia berusaha untuk memperbaikinya semampunya dengan menjaga agar tidak keluar dari batas (berlebih-lebihan").
Adapun membaca dengan nyanyian-nyanyian, maka Imam Syafi'i menegaskan dalam Al Mukhtashor bahwa itu tidak apa-apa. Dan dari riwayat Rabi' Al Jaizi bahwa itu makruh.
Ar Rafi'I berkata: "Sesungguhnya tidak ada perbedaan. Tetapi yang makruh adalah jika berlebih-lebihan dalam membaca dengan mad dan dalam memanjangkan harakat-harakat, sehingga ada alif yang keluar dari fathah, atau dlammah yang keluar dan wawu dan ya' yang keluar dari kasrah atau membaca dengan idlgham pada tempat yang tidak dibaca dengannya. Jika tidak sampai pada batasan ini, maka tidak dimakruhkan.
Dia berkata dalam Zawaidur Raudlah: "Yang benar bahwa berlebih-lebihan pada hal-hal yang disebutkan itu adalah haram, di mana seorang pembaca akan dinyatakan sebagai orang fasik dan pendengarnya akan berdosa. Karena dia telah berpaling dari peraturan yang pasti". Dia berkata: "inilah yang dimaksud dengan perkataan Syafi'i bahwa itu adalah makruh".
Aku berkata: "tentang hal ini ada sebuah hadits: "Bacalah Al Qur'an itu dengan lahjah-lahjah Arab dan suara-suara mereka. Dan jangan.lah kalian membaca Al Qur'an itu dengan lahjah-lahjah para ahli dua kitab dan orang-orang yang fasiq. Sesungguhnya akan datang orang-orang yang meliuk-liukkan Al Qur'an dengan nyanyian dan kependetaan, yang tidak melampaui leher mereka, hati mereka dan hati mereka yang kagum terhadap mereka itu tertimpa fitnah". Diriwayatkan oleh Thabrani dan baihaqi.
An Nawawi berkata: "Disunnahkan untuk meminta orang yang baik bacaannya untuk membaca al-Qur'an dan mendengarkan bacaannya, karena adanya hadits yang shahih itu. Tidak apa-apa dengan berkumpulnya suatu jama'ah untuk membaca secara bergiliran. Yaitu sebagian dari jama'ah itu membaca satu bagian dan yang lainnya meneruskan setelahnya".

15.     MASALAH
Disunnahkan untuk membaca Al Qur'an dengan tafkhim, karena hadits yang diriwayatkan oleh Hakim: "Al Qur'an itu turun dengan tafkhim". Al Halimi berkata: "maknanya adalah dengan membacanya seperti suara orang laki-laki. Tidak dengan melembut-lembutkannya seperti wanita". Dia berkata : "Tidak termasuk ke dalam bagian ini imalah yang dipilih oleh beberapa imam qiro'ah. Dan boleh jadi Al Qur'an itu diturunkan dengan tafkhim, kemudian setelah itu datang rukhshah untuk membacanya dengan imalah pada tempat-tempat yang layak untuk dibaca dengan imalah".

16.     MASALAH
Ada beberapa hadits yang memerintahkan untuk mengeraskan suara ketika membaca Al Qur'an dan hadits dan ada hadits yang menyuruh untuk membacanya dengan lirih.
Diantara yang pertama adalah hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim: "Allah tidak mengijinkan untuk sesuatu hal seperti Dia mengijinkan kepada seorang nabi yang bagus suaranya untuk menyanyikan Al Qur'an dengan suara yang keras".
Dan di antara yang kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dan Nasa'i: "Orang yang membaca Al Qur'an dengan keras seperti orang yang terang-terangan dalam bersedekah dan orang yang membaca Al Qur'an dengan lirih seperti orang yang merahasiakan sedekah".
An Nawawi berkata: "Pengumpulan dari dua hadits ini adalah bahwa membaca dengan lirih adalah lebih baik, jika ditakutkan adanya riya' atau orang-orang yang sedang melakukan shalat atau orang yang sedang tidur merasa terganggu dengan bacaan kerasnya. Dan membaca dengan suara yang keras adalah lebih baik pada waktu yang lainnya. Karena perbuatan untuk mengeraskan itu untuk memperbanyak amal, karena faedahnya akan melimpah kepada para pendengar, membangunkan hati pembaca itu sendiri, menarik perhatiannya untuk berpikir, dan pendengarannya ke arahnya, menghilangkan rasa kantuk dan menambah semangat.
Pengumpulan seperti ini dikuatkan oleh sebuah hadits Abu Dawud dengan sanad yang shahih dari Abu Sa'ld: "Rasulullah SAW beriktikaf di masjid. Dia mendengar para sahabat membaca Al Qur'an dengan keras. Maka dia menyingkapkan tabir dan berkata: "Ingatlah kalian bahwa semua ini sedang bermunajat kepada Tuhan kalian. Maka janganlah kalian saling mengganggu. Dan janganlah saling meninggikan suaranya untuk membaca".
Sebagian dari mereka berkata : "Disunnahkan untuk membaca dengan keras pada suatu waktu dan membaca dengan lirih pada waktu yang lain. Karena yang membaca dengan lirih itu kadang-kadang merasa bosan dan menjadi semangat dengan suara yang keras. Dan yang membaca dengan suara yang keras itu kadang-kadang kecapaian dan menjadi beristirahat dengan bacaan yang lirih".

17.     MASALAH
Membaca dari mushhaf itu adalah lebih baik daripada membaca dari hafalannya. Karena melihat kepada mushhaf itu adalah ibadah yang diperintahkan. An Nawawi berkata: "Demikianlah yang dikatakan oleh sahabat-sahabat kami dan para ulama salaf dan aku tidak melihat adanya perbedaan pendapat". Dia berkata: "Jika dikatakan bahwa hal itu berbeda-beda dari orang yang satu kepada yang lainnya. Maka dipilihlah membaca dari mushhaf jika seseorang itu bisa khusyuk dan merenungkannya pada saat dia membaca dari mushhaf dan dari hafalannya. Dan dipilih membaca dari hafalan bagi yang lebih bisa membaca dengan khusyu dan lebih dapat merenungkannya daripada jika dia membaca dari mushhaf. Maka ini adalah pendapat yang baik'.
Aku berkata: "Di antara dalil untuk membaca dari mushhaf adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi dalam Sya'bui Iman dari hadits Aus Ats Tsaqofi dengan cara marfu': "Bacaan seorang laki-laki dari selain mushhaf adalah seribu derajat dan bacaannya dari mushhaf adalah dilipatkan dua ribu derajat".
Abu Ubaid meriwayatkan dengan sanad yang dla'if: "Keutamaan membaca Al Qur'an dengan melihat atas orang yang membacanya dengan hafalan adalah seperti keutamaan yang fardlu atas yang sunnah".
Baihaqi meriwayatkan dari Ibu Mas'ud dengan cara marfu' "Barangsiapa yang senang untuk mencintai Allah dan rasul-Nya, maka hendaklah dia membaca dari Mushhaf". Dia berkata: "Ini adalah hadits yang mungkar".
Dan dia meriwayatkan dengan sanad yang hasan secara mauquf. "Berlama-lamalah kalian melihat mushhaf".
Az Zarkasy meriwayatkan satu pendapat lagi selain yang diriwayatkan oleh an-Nawawi, yaitu bahwa membaca dari hafalan adalah lebih utama secara mutlak. Dan sesungguhnya Ibnu Abdis Salam memilihnya, karena membaca dengannya lebih dapat merenungkan secara lebih mendalam daripada membaca dari mushhaf.[29]

18.     MASALAH
Di dalam Kitab At Tibyan [30] disebutkan: "Jika seorang pembaca merasa ragu dan tidak mengetahui kelanjutan dari bacaan terakhirnya, dan bertanya kepada yang lainnya, maka selayaknya dia menggunakan adab seperti yang diriwayatkan dari Ibnu mas'ud, dan Nakho'i dan Bisyr bin Abi Mas'ud. Mereka berkata: "Jika salah seorang dari kalian bertanya kepada saudaranya tentang suatu ayat, maka bacalah ayat sebelumnya kemudian diam. Dan tidak berkata bagaimana ini, bagaimana itu. Ini akan membuatnya menjadi ragu-ragu".
Ibnu Mujahid berkata : "Jika seorang pembaca ragu-ragu tentang suatu huruf, apakah itu ta' atau ya', maka hendaklah dia membacanya dengan ya' karena Al Qur'an itu mudazkkar. Jika dia ragu-ragu tentang suatu huruf apakah itu dibaca dengan hamzah atau tidak dibaca dengan hamzah, maka hendaklah dia meninggalkan hamzah. Jika dia ragu-ragu tentang suatu huruf apakah itu hamzah washal ataukah hamzah qath'I, maka hendaklah dia membacanya dengan hamzah washal. Jika dia ragu-ragu tentang suatu huruf apakah dibaca dengan fathah ataukah kasrah, maka hendaklah dia membacanya dengan fathah. Karena bacaan dengan fathah itu bukan merupakan kesalahan pada suatu tempat sedangkan bacaan dengan kasrah itu merupakan kesalahan pada beberapa tempat".
Aku berkata : "Abdurrazak meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa dia berkata : "Jika kalian berselisih tentang huruf ya' ataukah ta', maka jadikanlah sebagai ya'. Jadikanlah Al Qur'an itu mudzakkar".
Maka Tsa'lab memahami darinya bahwa yang mungkin dibaca dengan mudzakkar dan mu'annats, maka membacanya dengan mudzakkar adalah lebih baik. Ini dibantah bahwa tidak mungkin menghendaki menjadikan mudzakkar terhadap mu'anats yang tidak hakiki karena banyak terdapat dalam Al Qur'an, seperti   {   النَّارُ وَعَدَهَا اللَّهُ }[31]  (Neraka yang dijanjikan oleh Allah) dan {وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ  }[32]  (Dan tulang kering itu bersentuhan dengan tulang kering) dan {   قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ }[33] (Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka). Jika menghendaki menjadikan mudzakkar pada mu'annats yang tidak hakiki adalah tidak mungkin, maka pada yang mu'annats hakiki lebih tidak mungkin lagi. Dan tidak mungkin menjadikan kata yang bisa menjadi mudzakkar dan mu'annats sebagai mudzakkar, seperti firman-Nya {  وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ }[34] (Pohon- pohon kurma yang tinggi) dan         {  أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ  }[35] (Tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk) Ini dijadikan mu'annats, pada hal itu dapat dijadikan menjadi mudzakkar. Allah berfirman:{ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ }[36]  dan Pohon-pohon kurma yang tumbang, مِنَ الشَّجَرِ الْأَخْضَرِ [37] (Daripohon yang hijau).
Mereka berkata: "Yang dimaksud dengan perkataan Ibnu Mas'ud ذَكِّرُا adalah bukan memberikan nasehat dan do'a, seperti pada firman Allah {  فَذَكِّرْ بِالْقُرْآنِ  }[38] "Maka ingatkanlah dengan Al Qur'an". tetapi dalam kalimat itu ada huruf jar yang dibuang. Maksudnya adalah ingatkanlah manusia itu dengan Al Qur'an, doronglah manusia untuk menghafalkannya agar mereka tidak melupakannya.
Aku berkata : Permulaan atsar itu tidak memperkenankan pemahaman seperti ini. Al Wahidi berkata : Yang benar adalah pendapat Tsa'lab. Yaitu jika suatu lafadz itu mungkin mudzakkar dan mungkin mu'annats, dan membacanya dengan mudzakkar tidak bertentangan dengan mushhaf,   maka   dibaca   dengan   mudzakkar, seperti: { وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ}[39]  ( Dan syafa'at tidak diterima dari mereka). Dia berkata: Ini dikuatkan dengan pendapat para imam Qiro'ah dari Kufah seperti Hamzah dan Kisa'i. Madzhab mereka adalah membaca lafadz-lafadz ini dengan mudzakkar, seperti {  يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ } [40] (Pada hari di mana lisan-lisan mereka bersaksi atas mereka). Ini diterapkan pada selain mu'annats yang tidak hakiki.

19.     MASALAH
Dimakruhkan untuk memotong bacaan untuk berbicara dengan seseorang. Al Halimi berkata : "Karena kalam Allah itu tidak boleh dikalahkan oleh pembicaraan yang lainnya". Ini dikuatkan oleh Baihaqi dengan sebuah riwayat yang shahih : "Ibnu Umar jika membaca Al Qur'an, maka dia tidak berbicara sampai selesai".
Demikian juga dimakruhkan untuk tertawa dan melakukan perbuatan atau memandang kepada hal-hal yang remeh sia-sia.

20.     MASALAH
Tidak diperbolehkan untuk membaca Al Qur'an dengan bahasa asing (selain bahasa Arab) secara mutlak, baik dia mampu berbahasa Arab ataukah tidak, baik pada waktu shalat atau di luar shalat. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa hal itu diperbolehkan secara mutlak. Dan diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa hal itu hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab. Tetapi disebutkan dalam Syarah Al Bazdawi bahwa Abu Hanifah menarik kembali pendapatnya itu. Larangan itu disebabkan karena hal itu akan menghilangkan kemukjizatan yang dimaksudnya.
Dari Al Qaffal [41] dari sahabat-sahaoat kami: "Sesungguhnya membaca Al Qur'an dengan Bahasa Persia itu tidak dapat dibayangkan". Ada seseorang yang berkata kepadanya: "jika demikian, maka tidak ada seorang pun yang mampu untuk menterjemahkan Al Qur'an. Dia berkata: "Tidak demikian. Karena dalam penafsiran itu diperbolehkan untuk menghadirkan sebagian dari apa yang dikehendaki oleh Allah dan tidak mengetahui yang lainnya. Adapun jika dia ingin membacanya dengan Bahasa Persia, maka tidak mungkin dia akan menghadirkan semua apa yang dikehendaki oleh Allah. Karena proses penerjemahan adalah mengganti satu lafadz dengan lafadz yang lainnya yang mewakilinya. Dan hal itu tidak mungkin, berbeda dengan proses penafsiran".

21.     MASALAH
Tidak diperbolehkan membaca Al Qur'an dengan Qiro'ah yang syadz. Ibnu Abdil Barr meriwayatkan ijma' tentang hal itu. Tetapi Mauhub Al Jazari membolehkan pada selain shalat, karena mengqiyaskan riwayat hadits dengan makna.

22.     MASALAH
Yang lebih utama adalah membaca Al Qur'an seperti urutan pada mushhaf. Disebutkan dalam Syarah Al Muhadzab'. "Karena urutannya itu mempunyai hikmah. Maka selayaknya tidak meninggalkan urutan itu kecuali jika ada riwayat dari syari'at, seperti pada shalat Subuh di Hari jum'at dengan Surat Alif lam mim Tanzil dan Hal Ata dan yang lainnya. Jika dia memilah-milah surat atau membaliknya, maka hal itu diperbolehkan dan dia meninggalkan yang lebih utama.
Adapun membaca Al Qur'an dari akhir ke awal, maka sepakat dilarang, karena hal itu mengurangi beberapa hal kemukjizatannya dan menghilangkan hikmat urut-urutan itu.
Aku berkata: "Ada atsar tentang hal ini. Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik dari Ibnu Mas'ud bahwa dia ditanya tentang seorang laki-laki yang membaca Al Qur'an secara terbalik. Dia berkata: "Dia hatinya terbalik".
Adapun mencampur satu surat dengan surat yang lainnya, maka Al Halimi menganggap bahwa meninggalkan hal ini adalah termasuk adab, karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dari Sa'id bin Musayyib bahwa Rasulullah SAW melewati Bilal pada saat membaca dari surat ini dan dari surat ini. Dia berkata: "Wahai Bilal. Aku melewatimu membaca dari surat ini dan surat ini". Dia berkata: "Yang baik dicampur dengan yang baik". Dia berkata: "Bacalah surat itu seperti pada urutannya". Mursal shahih. Hadits ini pada riwayat Abu Dawud maushul dari Abu Hurairah tanpa akhirannya.
Abu Ubaid meriwayatkan dari jalur yang lain dari Umar Maula  Ghafarah bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Bilal : "Jika kamu membaca suatu surat, maka teruskanlah".
Dia berkata: "Mu'adz bin Aun telah bercerita kepada kami bahwa dia berkata: " Aku bertanya kepada Ibnu Sirin tentang seorang laki-laki yang membaca dua ayat dari suatu surat kemudian dia meninggalkannya dan beralih membaca surat yang lainnya. Dia berkata: "Hendaklah seseorang diantara kalian itu takut untuk berbuat dosa besar sedangkan dia tidak merasa".
Dia meriwayatkan dari ibnu mas'ud bahwa dia berkata: " Jika kamu memulai membaca suatu surat, kemudian ingin berpindah kepada yang lainnya, maka berpindahlah kepada Surat Al Ikhlash. Dan jika kamu memulai dengan Surat Al Ikhlash, maka janganlah berpindah kepada yang lainya sampai kamu menghatamkannya".
Dia meriwayatkan dari Ibnu Abi Hudzail bahwa dia berkata: " Mereka memakruhkan untuk membaca beberapa ayat dan kemudian meninggalkannya".
Abu Ubaid berkata : "Yang benar menurut kami adalah makruh untuk membaca ayat-ayat yang berbeda-beda, seperti yang diingkari oleh Rasulullah SAW terhadap Bilal dan sebagaimana yang dimakruhkan oleh Ibnu Sirin".
Adapun hadits Ibnu Mas'ud itu maka menurutku adalah agar seseorang laki-laki itu membaca suatu surat yang ingin disempurnakannya, kemudian dia hendak berpindah kepada yang lainnya. Adapun jika ada orang yang membaca dan dia ingin berpindah-pindah dari satu ayat ke ayat lain dan meninggalkan urutan ayat-ayat Al Qur'an, maka itu hanya dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu. Karena Allah jika menghendaki, maka Dia akan menurunkannya secara demikian".
Al Qadli Abu bakar meriwayatkan adanya ijma' tentang  ketidak bolehan membaca Al Qur'an satu ayat satu ayat dari setiap surat.
Baihaqi berkata : "Sebaik-baik hujjah tentang hal ini adalah bahwa sesungguhnya urutan Kitab Allah ini diambil dari Rasulullah SAW yang diperolehnya dari Jibril. Maka yang lebih baik bagi pembaca adalah jika dia membaca sesuai denngan urutan yang telah diriwayatkan". Ibnu Sirin berkata  "Urutan yang dibuat oleh Allah adalah lebih baik daripada urutan yang kalian buat".

23.     MASALAH
Al Halimi berkata : "Disunahkan untuk menyempurna kan setiap huruf yang telah ditetapkan oleh imam qiro'ah bahwa dia telah membaca semua hal yang termasuk Al Qur'an. Ibnu Sholah dan An Nawawi berkata : "Jika dia memulai dengan salah satu qiro'ah yang ada, maka seyogyanya tidak berpindah dari qiro'ah itu selama perkataan itu masih saling terikat. Dan jika keterikatan itu telah tiada, maka boleh baginya untuk membaca dengan qiro'ah yang lainnya. Yang lebih baik adalah senantiasa meneruskan qiro'ah yang pertama dalam satu majelis itu".
Yang lainnya melarang hal itu secara mutlak.
Ibnul Jazari berkata : "Yang benar adalah Jika salah satu dari dua qiro'ah itu berurutan terhadap yang lainnya, maka diharamkan,seperti orang yang membaca : { فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ  }[42] dengan membaca rafa' pada keduanya atau membaca nashab pada keduanya. Dia mengambil bacaan rafa' pada آدَمُ dari qiro'ah selain Ibnu Katsir dan membaca rafa' pada كَلِمَاتٍ dari qiro'ahnya. Dan yang seperti ini yang secara bahasa dan nahwu tidak diperbolehkan. Dan yang tidak demikian itu, maka dibedakan antara keadaan sedang meriwayatkan dan yang lainnya. Jika dalam keadaan sedang meriwayatkan, maka juga diharamkan. Karena itu adalah kebohongan dan mencampuradukkan riwayat. Dan jika digunakan untuk tilawah, maka diperbolehkan".

24. MASALAH
Disunahkan untuk mendengarkan bacaan Al Qur'an dan meninggalkan gurauan atau pembicaraan pada saat ada yang membacanya. Allah berfirman: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ  Jika Al Qur'an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah. Semoga kalian diberi rahmat".[43]

25.  MASALAH
Disunahkan untuk melakukan sujud ketika membaca ayat sajadah, yang terdapat dalam empat belas : di dalam Al A'raf, Ar Ra'ad, An Nakhl, Al Isra', Maryam, di dalam Al Hajj ada dua sajdah, Al Furqon, An Naml, Alif lam mim tanzil, Fushshilat, An Najm, Insyiqoq, Al Alaq. Dan adapun yang terdapat dalam Surat Shad, maka dianjurkan, maksudnya bukan ditegaskan untuk melakukan sujud. Dan ada sebagian ulama yang menambahkan akhir Surat Al Hijr. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Faris dalam kitab Ahkamnya.

26.   MASALAH
An Nawawi berkata : "Waktu-waktu yang dipilih untuk membaca dan yang paling utama adalah ketika sedang melakukan shalat, kemudian pada waktu malam, kemudian pada waktu separuh terakhir dari malam. Dan membacanya antara waktu maghrib dan isya' adalah disukai. Waktu siang yang terbaik adalah setelah subuh. Dan tidak ada satu waktupun yang dimakruhkan untuk membaca Al Qur'an. Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dan Mu'adz bin Rifa'ah dari guru-gurunya bahwa mereka memakruhkan membaca Al Qur'an setelah Shalat Ashar dan mereka berkata : "Itu adalah cara belajar orang-orang Yahudi, maka tidak dapat diterima dan tidak ada dasarnya.
Hari-hari yang dipilih adalah Hari 'Arafah, kemudian Hari Jum'at, Kemudian Hari Senin dan Kemudian Hari Kamis. Dan dari sepertiga bulan adalah sepuluh terakhir dari Bulan Ramadlan dan sepuluh awal dari bulan Dzul hijjah. Dan bulan yang terpilih adalah Bulan Ramadlan.
Hari yang dipilih untuk memulai membacanya adalah malam Jum'at dan untuk menghatamkannya adalah pada Malam Kamis. Ibnu Abi Dawud telah meriwayatkan dari Utsman bahwa dia melakukan hal itu.
Yang paling utama adalah menghatamkan pada awal siang atau awal malam. Karena ada riwayat Ad Darimi dengan sanad yang hasan dari Sa'ad bin Abi Waqash bahwa dia berkata: " Jika khatam Al Qur'an itu bertepatan dengan awal malam, maka akan dishalati oleh para malaikat sampai pagi. Dan jika bertepatan dengan awal siang, maka akan dishalati oleh para malaikat sampai sore". Disebutkan dalam Ihya 'ulumiddin: "Khatam pada awal siang itu ada pada shalat Shubuh dan awal malam itu pada Shalat Sunat Maghrib".

27.   MASALAH
Diriwayatkan dari Ibnu Mubarok bahwa disunahkan untuk menghatamkan pada waktu musim dingin, di awal malam, dan pada waktu musim panas di awal siang.

28.   MASALAH
Disunahkan untuk berpuasa pada hari khatam itu. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dari beberapa orang tabiin, dan juga disunahkan agar keluarga dan sahabat-sahabatnya hadir pada waktu itu. Thabrani meriwayatkan dari Anas bahwa jika dia menghatamkan Al Qur'an, maka dia mengumpulkan keluarganya dan berdo'a.
Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari Hakam bin Utaibah bahwa dia berkata : " Aku diundang oleh Mujahid dan di sana hadir Ibnu Abi Umamah. Mereka berdua berkata : "Kami mengundangmu karena kami ingin menghatamkan Al Qur'an. Dan do'a itu dikabulkan ketika ada khatam Al Qur'an".
Dia meriwayatkan dari Mujahid bahwa dia berkata : " Mereka berkumpul ketika menghatamkan Al Qur'an. Dan dia berkata : ‘pada saat itu turunlah rahmat'.
Disunahkan untuk mengucapkan takbir mulai dari Surat Adh Dhuha sampai akhir Al Qur'an. Inilah cara membaca penduduk Makkah. Baihaqi meriwayatkan dalam Sya'bul Iman dan Ibnu Huzaimah dari jalur Ibnu Abi Bazzah bahwa dia berkata: " Aku mendengar Ikrimah bin Sulaiman berkata: "Aku membaca di hadapan Isma'il bin Abdullah Al Makki. Ketika aku sampai pada Surat Adh Dhuha, maka dia berkata: "Bacalah takbir sampai khatam. Aku membaca di hadapan Abdullah bin Katsir dan dia menyuruhku melakukan hal itu dan dia berkata: "Aku membaca di hadapan Mujahid dan dia menyuruhku melakukan hal itu".
Mujahid menceritakan bahwa dia membaca di hadapan Ibnu Abbas dan dia menyuruh melakukan hal itu.
Ibnu Abbas menceritakan bahwa dia membaca di hadapan Ubay bin Ka'ab dan dia menyuruhnya melakukan hal itu. Demikianlah kami meriwayatkannya secara mauquf.
Kemudian Baihaqi meriwayatkan dari jalur yang lain dari Ibnu Bazzah secara marfu'.
Dan Hakim juga meriwayatkan dari jalur yang marfu ini dalam Mustadraknya dan dia menyatakannya sebagai shahih. Dan dia memiliki jalur yang banyak dari Bizzi.
Diriwayatkan dari Musa bin Harun bahwa dia berkata : " Bizzi berkata kepadaku : "Muhammad bin Idris Asy Syafi'i berkata : "Jika kamu meninggalkan takbir, maka kamu telah kehilangan salah satu sunnah nabi kamu". Al Hafidz Imaduddin bin Katsir berkata : Ini menunjukkan pernyataanya tentang keshahihan hadits mengenai hal ini".
Abul ‘Ala’ Al Hamadzani meriwayatkan dari Bizzi bahwa dasar hal itu adalah bahwa Rasulullah SAW terputus kedatangan wahyu kepadanya. Maka orang-orang musyrik berkata: "Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya". Maka turunlah surat Adh Dhuha. Maka Rasulullah SAW bertakbir". Ibnu Katsir berkata : "Hal itu tidak diriwayatkan dengan suatu sanad yang dapat dinyatakan shahih atau dla'if".
Al Halimi berkata: "Rahasia dari takbir itu adalah penyerupaan terhadap puasa Bulan Ramadlan jika telah sempurna bilangannya, maka dibacakan takbir. Demikian juga di sini dibacakan takbir, jika telah sempurna bilangan suratnya". Dia berkata: "caranya adalah dengan berhenti sebentar pada setiap surat dan berkata: "Allaahu Akbar".
Sulaim Ar Razi dari sahabat-sahabat kami berkata dalam Tafsirnya: "Dia bertakbir diantara dua surat dengan satu takbir dan tidak menyambung akhir surat dengan takbir itu, tetapi memisahkan antara keduanya dengan diam sejenak". Dia berkata: "Adapun para imam qiro'ah yang tidak membaca takbir, maka hujjah mereka adalah agar menutup jalan untuk adanya tambahan dalam Al Qur'an dengan cara membiasakan membacanya sehingga akan disangka bahwa takbir itu merupakan bagian dari Al Qur'an itu sendiri".
Di dalam An Nasyr disebutkan: "Para imam qiro'ah berbeda pendapat dalam permulaannya, apakah dari awal Surat Adh Dhuha ataukah dari akhirnya. Dan juga berbeda pendapat pada akhirnya, apakah pada awal surat An Nas ataukah pada akhirnya, serta pada kebolehan membacanya dengan washal dengan akhir surat atau dengan awalnya ataukah harus memotongnya. Semua perbedaan pendapat itu dasarnya adalah apakah takbir itu untuk awal surat ataukah untuk akhirnya".
Lafadz dari takbir itu, ada yang mengatakan: "Allaahu Akbar". Dan ada yang mengatakan: "Laailaaha illallaahu wallaahu akbar". Dan takbir itu baik dibaca pada waktu shalat maupun di luar shalat. Ini ditegaskan oleh As Sakhawi dan Abu Syamah.

29.     MASALAH
Disunahkan untuk membaca do'a segera setelah khatam, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dan yang lainnya dari Irbadl bin Sariyah secara marfu "Barangsiapa yang menghatamkan Al Qur'an, maka baginya adalah do'a yang akan dikabulkan".
Di dalam Sya'bul Iman dari hadits Anas secara marfu': "Barangsiapa yang membaca Al Qur'an, memuji Allah, membaca shalawat kepada Rasulullah SAW dan meminta ampunan kepada Allah, maka dia telah meminta kebaikan pada tempatnya".

30.   MASALAH
Disunahkan ketika telah selesai menghatamkan Al Qur'an untuk segera memulai dengan membaca dari awal, karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan yang lainnya: "Sebaik-baik amal di sisi Allah adalah yang sampai dan yang berangkat, yaitu yang membaca Al Qur'an dari awalnya. Setiap kali dia sampai (khatam), maka dia berangkat memulai dari awal".
Ad Darimi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka'ab bahwa Rasulullah SAW jika membaca Surat An Nas, maka dia memulai dengan Surat Al Hamdu (Al fatihah), kemudian membaca surat Al Baqoroh sampai kepada أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  Kemudian dia berdo'a dengan do'a khatam Al Qur'an. Kemudian berdiri".

31.   MASALAH
Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa dia melarang untuk mengulang-ulang Surat Al Ikhlash ketika khatam. Tetapi apa yang dilakukan oleh manusia berbeda dengannya. Sebagian dari merekabekata : "Hikmahnya adalah terdapat hadits yang menjelaskan bahwa ia adalah sama dengan sepertiga Al Qur'an. Maka dengan pengulangan itu jadilah seperti satu kali khatam.
Jika dikatakan : "Maka seyogyanya dia membaca empat kali, agar dia memperoleh dua kali khatam".
Maka kami berkata: "Maksudnya adalah agar dia yakin telah terselesai kan satu kali khatam. Baik itu dengan apa yang dibacanya atau yang dihasilkan dari pahala pengulangan surat itu".
Aku berkata: "Ringkasnya adalah pengulangan itu kembali kepada menutup kekurangan yang mungkin terjadi ketika membaca Al Qur'an. Dan sebagaimana Al Halimi mengqiyaskan takbir ketika khatam dengan takbir ketika Bulan Ramadlan telah sempurna, maka selayaknya untuk diqiyaskan pula pengulangan Surat Al Ikhlash itu dengan melanjutkan puasa Ramadlan dengan enam hari di Bulan Syawal".

32.   MASALAH
Dimakruhkan untuk menjadikan Al Qur'an itu sebagai sumber rejeki {ma'isyah). Al Ajuri meriwayatkan sebuah hadits dari Imran bin Hushain secara marfu  "Barangsiapa yang membaca Al Qur'an, maka hendaklah dia meminta kepada Allah dengannya. Sesungguhnya akan datang suatu kaum yang membaca Al Qur'an dan meminta kepada manusia dengannya".
Bukhari meriwayatkan dalam At Tarikh Al Kabir dengan sanad yang baik sebuah hadits: "Barangsiapa yang membaca Al Qur'an di hadapan orang yang dzalim agar diangkat derajatnya, maka dia dilaknat pada setiap hurufnya dengan sepuluh laknat".

33.   MASALAH
Dimakruhkan untuk mengatakan: "Aku lupa ayat ini", tetapi "Aku dilupakan tentang ayat ini" karena ada hadits dari Bukhari dan Mus­lim yang melarang hal itu.

34.   MASALAH
Tiga imam ulama fiqih berpendapat bahwa pahala membaca Al Qur'an itu dapat sampai kepada mayit. Dan madzhab kami berbeda dengannya karena firman Allah :
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى  "Dan manusia itu tidak mendapatkan kecuali apa yang dia usahakan".[44]

Sumber : Al Itqan Ulumil Qur’an, terjemah, Imam Jalaluddin As Suyuthi, Jilid I hh. 453-477





                                   


[1] Sumber : Imam Jalaluddin As Suyithi. Samudera Ulumu Qur’an Jilid I, terjemahan  Al Itqan fi Ulumil Qur’an :  Farikh Marazuqi Ammar, dkk (Surabaya : Bina Ilmu, tt) hh. 453-477.
[2] Penyunting : Dr. Syamsul
[3] Yaitu Imam Muhyiddin Yahya bin Saraf bin Ban An Nawawi Asy Syaf i'i, salah seorang ulama Syam dan penghafal hadits. Dilahirkan di Nawa salah satu kota di Damaskus pada tahun 631 dan wafat pada tahun 688 di sana. Dan Kitab At Tibyan fi Adabi hamalatil Qur'an disusun berdasarkan sepuluh bab. Kitab Al Adzkar dipilih dari sabda-sabda Rasulullah SAW. Kitab Al Muhadzab dalam cabang cabang madzhab Syaf i'i. lihatlah tarjamahnya dalam Thabaqat Asy Syaf i'iyah, V: 165
[4] Q.S Ali Imran:113
[5] Lanjutan dari hadits ini adalah: "dan orang laki-laki yang diberi karunia rizki oleh Allah dan dia menginfakkanya siang dan malam hari.
[6] Shahih Muslim dalam Kitab Shalat Bagi para Musafir
[7] Surat An Nahl:98


[8] Lihatlah An Nasyr, I, 252 dan halaman selanjutnya. Dinukil dengan sedikit perubahan
[9] QS. An Naml : 30
[10] QS. Fussilat : 47
[11] QS. Al An’am : 141
[12] An Nasyr, I, 266 dengan sedikit perubahan
[13] QS. Al Muzammil : 4
[14] Shaheh Mulim, hal. 563
[15] Al Burhan, I : 45
[16] QS. Shod : 29
[17] QS. Surat Muhammad  : 24
[18]  QS At Tien : 8
[19]  QS  Al Qiyamah : 40
[20]  QS Al Mursalat : 50
[21]  QS A’la : 1
[22]  QS Ar Rahman : 13
[23] QS. Al Baqarah : 186
[24] Tafsir Ibnu Katsir, Juz 2, hh. 189-190
[25]QS. At Taubah : 30
[26]QS.  Al Maidah : 64
[27]  QS. Al Maidah : 118
[29] Al Burhan, 1:462. dia adalah Imam Abu Muhamamd 'Izzuddin bin Abdus Salam Asy Syafi'i Syaikhul Islam. Meninggal pada tahun 660
[30] Kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur'an, karya Imam Muhyiddin Yahya bin Syaraf An Nawawi Asy Syafi'i. Wafat pada tahun 676. Disebutkan olah pengarang Kasyf u Adz Dzunun, 340
[31] QS. Al Hajj : 72
[32] QS. Al Qiyamah : 29
[33]  QS Ibrahim : 11
[34]  QS. Qaf : 10
[35] QS. Al Haqqah : 7
[36] AIQomar:20
[37] Yaa Siin:80
[38] Qaf:45
[39] Al Baqoroh:48
[40] An Nur : 24
[41] Dia adalah Abu Bakar Muhammad bin Ismail Asy Syasyi Seorang ahli fiqih madzhab Syafi'i yang cfikenal dengan Al Qaffal Al kabir. Pengarang berbagai kitab di bidang fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits dan ilmu kalam. Wafat pada tahun 315. Syadzaratudz Dzahab, III: 52
[42] QS. Al Baqarah : 37
[43] QS. Al A’raf : 204
[44] An Najm:39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar